Pada tanggal 25 Maret 2025 DPR RI meresmikan UU TNI yang berpotensi melemahkan demokrasi bahkan keamanan bagi wanita-wanita di Indonesia. Awal perencanaan hingga peresmian dari UU ini bersifat privat dan tidak transparan pada publik ditambah dengan adanya UU TNI ini berpotensi mengembalikan Dwi Fungsi Abri yang pernah terjadi di masa Orba terdahulu. Sebelumnya UU TNI ini sudah pernah dibahas di parlemen pada tahun periode 2019-2024, sebagai revisi dari RUU No.34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia namun gagal, hingga akhirnya diresmikan pada tahun ini akan menimbulkan konflik mengenai pergeseran peran sipil yang akan digantikan oleh militer dan memiliki dampak serius bagi demokrasi dan perlindungan HAM.
UU TNI memicu kontroversi karena substansi dari Undang-Undangnya lebih condong berpihak pada keuntungan pihak militer. Proses dari perumusan hingga peresmian undang-undang ini bisa dibilang terburu-buru dan dilaksanakan dalam waktu yang singkat serta minimnya ruang partisipasi bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Selain ruang demokrasi yang kerap diperas, partisipasi sipil juga dibatasi dengan perluasan tugas dari TNI itu sendiri dimana penambahan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Terorisme, penanggulangan ancaman siber, penyelamatan WNI di luar negeri, serta Kejaksaan.
Melihat konteks sebelumnya, UU TNI ini mengingatkan kita pada masa Orba (Orde Baru) dimana Dwi Fungsi Abri dilakukan dan meminimalisir peran sipil dengan melibatkan tentara pada urusan-urusan sipil. Selain mengulangi kesalahan sejarah, UU TNI ini juga berpotensi memberikan ancaman keamanan dan keselamatan bagi para masyarakat yang menentang khususnya para kaum perempuan.Pada masa Orba militeristik pada Dwi Fungsi Abri sudah digunakan sebagai alat penindasan, menculik, memenjarakan dan perlakuan kekerasan seksual bagi pada aktivis perempuan diantaranya adalah kasus Marsinah dan Kasus Ita Martadinata.
Marsinah ditemukan terbunuh dan hasil visum menunjukan tubuhnya mengalami kekerasan seksual sebelum dieksekusi. Marsinah dibungkam dan dibunuh karena menyuarakan suara-suara perempuan dan buruh mengenai upah kerja yang sedikit sekaligus tuntutan kepada perusahaan dalam memberikan hari libur melahirkan, hari libur menstruasi, dan upah lembur. Kasus sama terjadi pada Ita Martadinata, dia dibungkam dan dibunuh karena hendak mengatakan dan melakukan kesaksian di depan PBB mengenai korban-korban kekerasan seksual dan pemerkosaan massal pada wanita etnis Tionghoa pada tragedi krisis tahun 1998.
Mengingat tragedi miris kaum perempuan pada masa Orba tersebut terulang kembali di masa kini melalui bentuk ancaman.Jurnalis wanita Tempo bernama Fransisca Christy, mengalami tindakan intimidasi pada tanggal 19 Maret 2024 dimana dia menerima tindakan intimidasi dan ancaman berupa pengiriman kepala babi dengan telinga terpotong. Fransisca Christy merupakan bagian dari tim Bocor Alus Tempo yang memprotes akan adanya UU TNI ini, sehingga dengan adanya tragedi ini mencerminkan bagaimana perempuan masih dijadikan sasaran dalam tindakan kekerasan untuk membungkam kritik kepada pemerintahan.
Adanya UU TNI juga memunculkan budaya Militeristik yang berkaitan dengan Patriarki sehingga wanita hanya dianggap sebagai pelengkap dan terjadi pengurangan peran wanita aktif di ranah sosial dan politik khususnya dalam pengambilan keputusan. Walaupun intensi dari para pejabat disana adalah untuk memajukan militer dan memperkuat pertahanan nasional namun, keberadaan potensi ancaman elemen-elemen militeristik yang ekstrim dan kecenderungan patriarki di dalam undang-undang tersebut harus menjadi perhatian serius. Perlindungan terhadap hak dan keamanan perempuan seharusnya menjadi prioritas agar demokrasi dan keadilan sosial dapat terwujud secara optimal di Indonesia.