Pemuda: Mengubah Kebijakan Lewat Suara


Pemilu kemarin, isu soal pemuda ramai dibicarakan. Mulai dari polemik batas usia pencalonan, sampai jadi faktor penentu kemenangan paslon. Melihat potensi yang demikian besar, membuat pemuda tak jarang jadi nilai tawar. Pemuda, jadi polesan ampuh yang bisa membantu mengerek suara.

Kalau menurut Undang-Undang no. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemuda adalah mereka yang berusia 16 sampai 30 tahun. Sementara, merujuk pada istilah kekinian, Gen Z,  pemuda adalah mereka yang lahir tahun 1997 sampai 2007. Artinya, pada saat artikel ini ditulis, kisaran usia mereka antara 12 hingga 27 tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada tahun 2023, jumlah pemuda sebesar 64,14 juta orang. Jumlah itu setara dengan 23,18 persen dari total penduduk Indonesia.

Sayangnya, jumlah yang besar itu belum dimanfaatkan secara optimal. Pemuda masih berkutat dalam jerat pengangguran. BPS mencatat pada tahun 2023, total pengangguran di kalangan pemuda sebesar 13, 41 persen. Dengan kata lain, ada setidaknya 13 dari 100 pemuda yang menganggur. Padahal, tak lebih dari dua dekade, yakni pada tahun 2045, Indonesia diproyeksikan akan memperoleh bonus demografi. Usia produktif diperkirakan akan berjumlah 64 persen dari total jumlah penduduk.

Jumlah yang sedemikian besar membuat pemuda diperhitungkan di masa mendatang. Namun, sekali lagi, besarnya kuantitas tersebut tak selaras dengan kualitas yang diharapkan. Laporan KataData pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa masih ada 12,26 persen penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun keatas dan tak memiliki ijazah. Sementara, dalam kategori yang sama, presentase tingkat pendidikan yang ditamatkan untuk perguruan tinggi, hanya sebesar 10,15 persen.

Lalu, dengan kondisi demikian, bagaimana pemuda dapat, setidaknya terlibat dalam pembuatan kebijakan, sebelum lebih jauh, menjadi bagian dari pemerintahan?

Pertanyaan tersebut barangkali getir untuk dibayangkan. Mengingat, modal yang dimiliki pemuda terbatas dan minim akses. Jika pun memperoleh akses, potensi penyalahgunaannya cukup memprihatinkan. Sebut saja, judi online. KataData mengungkap fakta bahwa pada tahun 2022, jumlah dan nilai transaksi judi online telah menyentuh angka 104,42 triliun.

Bayangkan, masalah yang dialami pemuda begitu dilematis. Maju kena mundur apalagi. Sehingga, wajar jika kemudian ada yang meragukan nasib pemuda di masa depan.

Namun, itu tak berarti pemuda akan sepenuhnya gagal. Masih ada jalan buat pemuda mengubah keadaan. Pemuda saat ini tak lagi menjadikan materi sebagai modal, tapi berani mengungkapkan apa yang ideal. Pakaiannya boleh jadi itu-itu saja, tapi idenya bertebaran dimana-mana. Wajahnya memang tak karuan, tapi sanggup menawarkan harapan. Gawainya bisa jadi kembang kempis, lenyap ditelan waktu, tapi kesadarannya buat jadi bagian dari Indonesia, tetap nomor satu.

Dengan modal itu saja pemuda dapat terlibat dalam, minimal, pembuatan kebijakan. Jangan justru memilih untuk menempuh jalur instan; berharap pada hasil, menanggalkan kepakaran, melepas integritas. Pemuda, identik dengan dampak. Pada akhirnya, masuk atau tidaknya dalam pemerintahan, itu hanya bonus dan soalan waktu. Satu yang pasti: pemuda akan melawan gerontokrasi atau pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang tua.

Jika ada yang bertanya, bisakah suara pemuda memengaruhi pembuat kebijakan publik untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik? Jika dijawab secara ringkas, tentu bisa. Namun, kualitasnya perlu dipertanyakan dan pertaruhkan. Jika dijawab tidak, itu artinya meremehkan pemuda. Dan itu jelas sebuah kesalahan. Untuk itu, lebih elok jika pertanyaan tersebut disodorkan pada cermin. Temukan jawabannya disana.

Penulis: Dzaky Fauzi

Post a Comment

Previous Post Next Post