Ruang Siber Indonesia: Data Bocor, Warga Ketagihan Situs Gacor


Kasus kebocoran data belakangan ramai dibicarakan. Pasalnya, berita mengenai ransomware atau serangan terhadap sistem komputer dengan menagih tebusan tertentu, menyasar Pusat Data Nasional (PDN) Surabaya milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Kabar tersebut kian menjadi sorotan setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengungkap kinerja Kominfo dalam rapat kerja bersama Komisi I dan menemukan hanya dua persen PDN Surabaya yang telah di-back up.
Jagat maya dipenuhi kritik terhadap Kominfo. Muncul kemudian petisi yang meminta agar Menteri Komunikasi dan Informasi, Budi Arie, mundur. Respons tersebut disambut oleh aksi serupa, dengan mempertahankan Budi sebagai menteri. Kabar mengenai ransomware kemudian lenyap setelah pelaku peretasan meminta maaf. 
Setali tiga uang, ribut soal judi online (judol) masih juga belum surut. Terakhir, wacana pemberian bantuan sosial (bansos) pada pelaku judol, ramai menuai protes. Upaya preventif pemerintah pun dinilai tak efektif. Melalui Short Message Service (SMS), pemerintah mengirim pesan berupa pantun agar warga menghindari judol. Berikut isinya:

Pergi ke Kondangan Pake Kebaya.

Gandeng Istri Biar Mesra.

Siapa Bilang Judi Bisa Bikin Kaya.

Yang Ada

Cuma Bikin Sengsara.

#STOPJUDIONLINE


Upaya pemerintah tentu patut diapresiasi. Kendati sedikit, atau bahkan tak ada dampak yang dihasilkan. Barangkali Pemerintah punya strategi: pesan tersebut akan mengganggu konsentrasi para pelaku judi dengan kemunculan notifikasi, yang, harapannya, kemudian akan dibaca dan direnungi. Lewat pantun pembawa berkat. Sikap pemerintah tersebut tentu hanya akan berakhir menjadi lelucon pahit.

Belum rampung memberangus judol, pemerintah kalah langkah menghadapi pinjaman online (pinjol). Lubang yang terlanjur tergali harus ditutup. Utang akibat judol mesti dilunasi. Tawaran pencairan dana kilat menggoda pelaku judol. Alih-alih tertutup, pelaku justru terperosok, mendapat predikat baru sebagai pelaku pinjol. Lingkaran setan diatas akan terus berputar, menghantui warga, tanpa disadari.


Apa yang mesti pemerintah, terutama Kominfo, lakukan?


  1. Perketat kebijakan.

Pemerintah sudah menerbitkan dua kebijakan yang mengatur ruang digital, di antaranya, Undag-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, ada beberapa persoalan yang menjadi sandungan dalam pelaksanaanya. Pertama, pemerintah belum sepenuhnya mengadopsi General Data Protection Regulation milik Uni Eropa. Memang perlu ada penyesuaian. Namun, pemerintah luput untuk menyertakan rincian kelembagaan yang ditugaskan untuk mewujudkan penyelenggaraan Undang-Undang di dalam pasal 58. Kedua, UU ITE, alih-alih mendukung upaya pelaksanaan perlindungan data, justru membuka ruang bagi penyalahgunaan UU. Pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2, merupakan dua pasal yang dianggap pasal karet. 


  1. Perkuat lembaga.

Kendati tak ditulis secara rinci, ada beberapa aktor dengan tugas dan fungsi tertentu yang telah menjalankan Undang-Undang PDP. Di antaranya Direktorat Kejahatan Siber (DKS), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Polri. Otoritas berwenang yang menaungi ruang siber tak hanya butuh diperkuat melalui pembakuan hukum, melainkan juga perlu diisi oleh ahli. Sebab, salah satu pintu masuk keamanan nasional berada dalam alam digital. Penguasaannya menjadi semakin penting saat serangan siber kian variatif. 


  1. Edukasi. 

Pantun jelas tak membantu. Dilihat dari sisi manapun, persoalan sistem, tak akan usai hanya dengan pantun. Bukannya meremehkan pantun. Namun, ini menyangkut keselamatan warga. Anggaran untuk mengirim SMS, katakanlah, jikapun ada, jangan digunakan untuk mengirim pantun. Peringatan ini akan terus diulang. Sebab notifikasinya kian mengganggu. Menumpuk di kolom SMS bersama pesan kompetitornya, Dewa Zeus dan Gacor88. Kemas konten yang bermutu. Berikan itu sampai ke pelosok. Hanya itu yang mampu menjadi jaring pengaman warga. Sebab, menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebanyak 3,5 juta orang atau setara 80% pelaku judol berasal dari kalangan menengah kebawah. 


Demikian adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menyelam di media sosial. Ada beragam pengguna, di saat yang sama, terjebak, dan tak dapat kembali ke permukaan. Terlanjur tenggelam dan dilupakan. 



Referensi:
  • Alfaridzi, M. I. (2024, July 3). Kominfo Ajak stop Judi Online Dengan Kirim Pantun, 7 pantunnya Bagus Tapi Bikin warganet Geleng Kepala. brilio.net. https://www.brilio.net/photo/duh/kominfo-ajak-stop-judi-online-dengan-kirim-pantun-7-pantunnya-bagus-tapi-bikin-warganet-geleng-kepala-240703i/kominfo-ajak-stop-judi-online-dengan-kirim-pantun-7-pantunnya-bagus-tapi-bikin-warganet-geleng-kepala-240703i-003.html 
  • Jauhar Rizqullah Sumirat. (2023). Data Breach In Indonesia: A Contemporary View. Innovative: Journal Of Social Science Research3(6), 7768–7777. https://doi.org/10.31004/innovative.v3i6.6744
  • Singgih, V. (2024, July 2). PDN: Petinggi Kominfo mundur setelah Pusat data Nasional diretas. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c8vdmymmynzo

Post a Comment

Previous Post Next Post