Wisuda Dibuat Mahal: Jokes yang Menunjukkan Rendahnya Sensitivitas Pejabat

Ilustrasi Suasana Gembira Setelah Wisuda | Sumber: Pexels.com


Dalam sebuah rapat bersama DPR baru-baru ini, Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengusulkan kenaikan biaya wisuda. Ya, memang ini disampaikan dengan nada bercanda. Dalam pernyataannya, Muhadjir mengemukakan bahwa meskipun biaya wisuda ditingkatkan, hal ini tidak akan menimbulkan protes sebesar kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Komentar ini dimaksudkan untuk merespons kritik terhadap UKT yang sering kali memicu protes massal di kalangan mahasiswa.


Menurut Muhadjir, upacara wisuda seharusnya dilihat sebagai sebuah momen yang menghormati prestasi akademik, dan kenaikan biaya sebagai investasi yang layak untuk meningkatkan kualitas acara tersebut. Menurutnya, penghargaan terhadap capaian mahasiswa seharusnya tercermin dalam upacara yang diadakan, tanpa harus terbebani dengan perdebatan finansial yang berlebihan. Pandangan ini juga mencerminkan keyakinannya bahwa masyarakat akademik harus dapat menghargai nilai dari sebuah upacara wisuda yang layak dan memadai.


Sebenarnya, pernyataan ini adalah bentuk kritik dari Menteri PMK tersebut terhadap kecenderungan PTN untuk lebih banyak mengeluarkan daripada mencari pendapatan. Beliau menegaskan perlunya perubahan karakter dalam pengelolaan keuangan PTN, dengan mengajari lembaga-lembaga ini untuk lebih proaktif dalam mencari pendanaan. Nama besar PTN-BH seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal dengan mengkapitalisasi modalnya. Beliaujuga menyoroti pentingnya kepastian biaya pendidikan untuk mahasiswa baru (maba), serta perlunya transparansi dan keadilan dalam menetapkan biaya pendidikan.


Meskipun demikian, komentar Muhadjir Effendy, yang mengusulkan kenaikan biaya wisuda dengan nada bercanda, mencerminkan ketidaksensitifan terhadap tekanan ekonomi yang dirasakan oleh banyak mahasiswa dan keluarga mereka di Indonesia. Kami akan mencoba mengutip beberapa media online untuk memberi contoh konkret. Kutipan pertama kami adalah dari Mojok yang telah mewawancarai Rifqi Herjoko, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, yang memilih untuk tidak mengikuti upacara wisuda karena biaya yang dianggap terlalu tinggi. Rifqi mengungkapkan bahwa biaya sebesar Rp1.000.000 untuk fasilitas paket wisuda, termasuk toga, konsumsi, foto, suvenir, dan piagam alumni dalam bentuk digital, membuatnya memutuskan untuk tidak mengikuti upacara tersebut.


Selain Mojok, kami juga mengutip sebuah artikel dari Kompas yang melampirkan sebuah wawancara dengan Nabilla Rusthaliani, mahasiswi dari Universitas Indraprasta PGRI. Nabilla menambahkan bahwa mahasiswa tingkat akhir sudah dibebani dengan biaya yang semakin besar dibandingkan dengan semester sebelumnya, seperti biaya jilid dan tugas akhir. Biaya wisuda di kampus Nabilla pada tahun 2024 mencapai sekitar Rp 1,8 juta, belum termasuk biaya tugas akhir yang juga cukup membebani. Nabilla juga menyoroti bahwa kebijakan wisuda di beberapa perguruan tinggi mewajibkan seluruh mahasiswa membayar biaya tersebut, tanpa mempertimbangkan apakah mereka mengikuti acara tersebut atau tidak. Menanggapi pernyataan Muhadjir, Nabilla geram karena pernyataan tersebut dianggap mengabaikan realitas finansial mahasiswa.


Selain itu, walaupun bersifat jokes, pernyataan Pak Muhadjir seolah tidak berkaca dari kemarahan masyarakat saat ada wacana kenaikan UKT PTN. Artikel dari Solopos.com membahas kontroversi terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang menimbulkan protes dari kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Mahasiswa merasa terbebani dengan kenaikan UKT yang dinilai tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga mereka. Pengelola kampus mempertahankan kenaikan ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan. Namun, kenaikan yang signifikan dikhawatirkan dapat mengurangi jumlah mahasiswa, terutama dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Pernyataan kontroversial dari pejabat mengenai status pendidikan tinggi sebagai pilihan yang tidak mendapat pendanaan prioritas juga menambah riuh debat. Kritik terhadap kebijakan ini menyoroti perlunya akses pendidikan tinggi yang lebih merata dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, serta pentingnya solusi kolaboratif untuk menjaga kualitas pendidikan tanpa memberatkan mahasiswa secara finansial.


Jokes tentang kenaikan biaya wisuda mencerminkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat akademik. Kebijakan ini tidak hanya menambah beban finansial bagi mahasiswa, tetapi juga memperburuk kesenjangan akses terhadap pendidikan tinggi yang seharusnya inklusif. Mahasiswa dan keluarga mereka yang tengah menghadapi tantangan ekonomi merasa terpinggirkan oleh kebijakan ini, yang seharusnya mendukung akses pendidikan yang merata bagi semua lapisan masyarakat.


Sebagai refleksi dari masalah ini, kutipan Mahatma Gandhi yang menyatakan the true measure of any society can be found in how it treats its most vulnerable members sangat relevan. Pemerintah perlu lebih peka terhadap aspirasi dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat akademik, sehingga kebijakan yang diambil dapat lebih inklusif dan mendukung bagi semua pihak. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengurangi beban finansial mahasiswa dan memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap dapat diakses secara adil dan berkelanjutan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kami tahu, Pak Muhadjir hanya ngejokes, tetapi tolong lah pak, sensitif sedikit, rakyat kita banyak yang susah lho!


Ditulis oleh: Rayhan Fasya Firdausi


Referensi:


Post a Comment

Previous Post Next Post