Outline Based Education: Bagus, Tetapi Terlambat, Bahkan Terbalik!

Ilustrasi Perpustakaan Sebagai Sumber Pendidikan | Sumber: Pexels.com


    Kebijakan Outline Based Education (OBE) diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 123 Tahun 2023. OBE merupakan langkah penggantian terhadap Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), yang telah lama menjadi landasan kurikulum di Indonesia. KKNI, dengan pendekatannya yang lebih terstandarisasi, dianggap perlu diperbarui untuk lebih responsif terhadap kebutuhan pasar kerja yang berubah cepat. Berbeda dengan KKNI, OBE menawarkan pendekatan yang lebih adaptif, memungkinkan lembaga pendidikan untuk lebih fleksibel dalam menyesuaikan kurikulum mereka dengan tuntutan industri dan teknologi saat ini.


Website Sevima, dalam artikelnya, menjelaskan bahwa perbedaan mendasar antara KKNI dan OBE terletak pada pendekatan pengakuan kompetensi. KKNI cenderung membutuhkan standar yang lebih ketat dalam menetapkan kompetensi mahasiswa, sementara OBE memberikan fleksibilitas yang lebih besar. Hal ini memungkinkan mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja global yang dinamis. Dengan demikian, OBE tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi secara keseluruhan, tetapi juga untuk meningkatkan daya saing lulusan di tingkat internasional. Informasi ini menunjukkan bahwa OBE bukan sekadar pengganti KKNI, tetapi sebuah transformasi yang bertujuan untuk mengubah paradigma pendidikan tinggi di Indonesia menjadi lebih adaptif dan relevan dengan era globalisasi dan teknologi yang terus berkembang.


Penerapan OBE ini sejatinya dilakukan untuk merespons kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). MBKM yang diperkenalkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020 sebagai respons terhadap dinamika pendidikan di era digital dan globalisasi. MBKM bukan sekadar memberikan kebebasan kepada mahasiswa dalam menentukan jalur pendidikan mereka, tetapi juga dirancang untuk menciptakan lulusan yang tidak hanya berkompeten secara akademis, tetapi juga siap bersaing di pasar kerja global yang semakin kompleks.


Panduan implementasi MBKM yang dikeluarkan oleh Kemendikbud menegaskan bahwa MBKM harus terintegrasi dengan Outline Based Education (OBE), yang kemudian diperkenalkan pada tahun 2023. OBE dirancang untuk menggantikan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dengan pendekatan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan industri dan teknologi saat ini. Ini berarti bahwa OBE tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas kurikulum di perguruan tinggi, tetapi juga untuk mempersiapkan lulusan dengan keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh pasar kerja global yang terus berubah. Dengan adanya MBKM, mahasiswa didorong untuk mengambil peran aktif dalam mengelola pendidikan mereka, memilih mata kuliah yang relevan dengan minat dan tujuan karir mereka, serta mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk beradaptasi dengan cepat dalam lingkungan kerja yang berubah-ubah. Ini membantu mereka tidak hanya menjadi lulusan yang terampil secara teknis, tetapi juga pemimpin yang mampu menjawab tantangan globalisasi dan revolusi industri ke depan.


OBE memang memberikan potensi yang besar untuk meningkatkan fleksibilitas dan relevansi pendidikan tinggi di Indonesia. OBE bagus, tetapi jujur saja, sudah terlambat, bahkan terbalik! Ada logika kacau di balik penundaan peluncurannya oleh Kemendikbud yang seharusnya menimbulkan pertanyaan kritis. MBKM adalah sebuah program yang membutuhkan fleksibilitas kurikulum, kurang cocok dengan KKNI yang sudah diterapkan sejak 2016. Kenyataannya MBKM membutuhkan kurikulum yang lebih fleksibel seperti apa yang diterapkan melalui OBE. Maka dalam akal sehat yang seharusnya, kurikulumnya dulu yang seharusnya dimunculkan, baru programnya, atau setidaknya kedua hal tersebut muncul bersamaan. Kenyataannya, MBKM sudah diluncurkan sejak tahun 2020, sedangkan OBE sebagai sebuah kerangka kurikulum yang dibutuhkan oleh program MBKM itu sendiri baru muncul di tahun 2023. Sebagai mahasiswa atau akademisi, kita mungkin merasa heran mengapa sebuah kebijakan yang seharusnya mendukung MBKM, kenyataannya malah baru diimplementasikan setelah programnya berjalan selama tiga tahun. Ini menunjukkan adanya kebingungan dalam urutan prioritas kebijakan publik yang seharusnya diatur untuk mendukung perkembangan kebutuhan pendidikan dan industri secara proporsional.


Kritik terhadap urutan ini bukan semata tentang kronologi peluncuran kebijakan, tetapi juga tentang bagaimana sebuah kebijakan harus memprioritaskan tanggapan terhadap kebutuhan yang sudah ada sebelumnya. Dalam konteks ini, OBE seharusnya menjadi langkah awal untuk mendukung MBKM, bukan sebagai tindakan perbaikan belakangan. Pendekatan ini seharusnya lebih menghargai kebutuhan masyarakat pendidikan yang sudah jauh lebih dulu diidentifikasi dan diresponsi. Ini memunculkan pertanyaan: apakah sebenarnya Kemendikbud paham dengan kebutuhan dari kebijakan yang ditetapkannya sendiri? Apakah sedari awal Kemendikbud belum memikirkan kebutuhan kurikulum yang menunjang program MBKM yang dibuatnya sendiri?


Kami penasaran, apakah para pejabat Kemendikbud pernah membaca buku Pak Riant Nugroho tentang penyusunan kebijakan publik. Buku-buku beliau sangat cermat dalam menjelaskan mengenai tahapan penyusunan kebijakan publik yang ideal. Menurut Nugroho, penyusunan kebijakan publik melibatkan serangkaian tahapan yang dimulai dari identifikasi masalah, formulasi kebijakan, implementasi, evaluasi, hingga revisi. Tahapan ini dirancang untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya tepat sasaran, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan dan dinamika yang ada di masyarakat.


Dalam konteks OBE dan MBKM, proses penyusunan kebijakan ini menjadi penting untuk dievaluasi. Penundaan peluncuran OBE setelah MBKM menunjukkan bahwa ada kebalikan dalam penanganan urutan prioritas ini, yang mungkin mempengaruhi efektivitas dan responsivitas kebijakan terhadap dinamika pendidikan yang sedang berlangsung. Implementasi OBE setelah MBKM menunjukkan adanya kebalikan dalam urutan prioritas yang seharusnya diatur untuk mendukung perkembangan kebutuhan pendidikan dan industri secara proporsional. Seharusnya, kebutuhan akan fleksibilitas kurikulum untuk mendukung MBKM menjadi landasan pertama dalam reformasi pendidikan tinggi. Namun, dengan OBE diluncurkan pada tahun 2023 setelah MBKM, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana proses dibalik pengambilan keputusan dan runtutan logika para pebajat Kemendikbud dalam menentukan prioritas kebutuhan prorgam. Apakah orang-orang berpendidikan tersebut lupa menggunakan akal sehatnya untuk menentukan mana yang lebih penting?


Dengan demikian, pertanyaan ini bukan semata tentang implementasi teknis kebijakan, tetapi juga tentang kesinambungan strategis dalam memenuhi kebutuhan pendidikan nasional yang semakin kompleks dan global. Oleh karena itu, evaluasi terhadap tahapan penyusunan kebijakan menurut panduan Nugroho menunjukkan bahwa proses kebijakan haruslah lebih proaktif dan responsif terhadap kebutuhan yang ada sebelumnya, bukan sebagai tanggapan terhadap keadaan yang sudah terjadi.


Keputusan untuk meluncurkan Outline Based Education (OBE) setelah Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) mengingatkan kita pada pepatah lama: "Membenamkan kapal setelah karam." Kebutuhan akan OBE untuk mengakomodir MBKM seharusnya menjadi prioritas yang lebih awal dalam perumusan kebijakan pendidikan. Meskipun OBE sebagai konsep adalah langkah yang bagus untuk memodernisasi sistem pendidikan tinggi, penundaan peluncurannya menunjukkan bahwa ada keterlambatan yang tidak perlu, yang mungkin mempengaruhi kesiapan lulusan dalam menghadapi tantangan global masa depan. Kini, nasib para mahasiswa yang terpengaruh kebijakan MBKM menjadi terpengaruh karena keterbalikan yang dilakukan oleh Kemendikbud, entah sengaja atau tidak. Jadi, Mas Menteri, kebijakan anda bagus, tapi sayang, sudah terlambat! Kami sarankan, kalau tahun periode selanjutnya mau jadi menteri lagi, sit-in kelas kebijakan publiknya Pak Riant Nugroho dulu, ya. 


Ditulis oleh: Rayhan Fasya Firdausi


Referensi



Post a Comment

Previous Post Next Post